Rabu, 18 Februari 2015

TRAGEDI, GADIS PEJUANG ISLAM DI BALI

Posted by Badar Jailani. Category:



Gadis Pejuang Bali


Setelah semalam beristirahat di kawasan Tabanan, jam tiga pagi waktu Indonesia bagian tengah, rombongan bertolak menuju Kota Denpasar. Kami menunaikan ibadah Sholat Subuh di sebuah masjid di kawasan Bajera, Tabanan-Bali. Perjalanan kami teruskan menuju kawasan Pesiapan-Tabanan. Kyai Wachid menyarankan agar anggota rombongan makan pagi di kawasan Pesiapan saja sebab di sana ada warung yang menyediakan masakan khas Jawa Timur dan dijamin kehalalannya. Pemilik warung makan itu berasal dari Mojokerto, Jawa Timur.

Ada puluhan menu di warung yang bernama “Warung Muslim Wong Jowo” ini. Harga perporsinya terbilang murah. Untuk nasi pecel dihargai Rp.8000,- sepiringnya. Sedangkan teh hangat manis dihargai Rp.2000,- segelasnya. Rasanya lumayan enak. Ya tak ubahnya nasi pecel dari Madiun atau Cepu di Jawa Tengah. Bumbu pecalnya terasa manis dan sedikit pedas.

Ada balai-balai bambu di depan warung ini. Makan pagipun terasa nikmat bila kita lakukan sambil duduk di bawah pohon. Halaman parkir di depan warung cukup untuk beberapa bus pariwisata. Setelah sarapan pagi kami duduk-duduk santai di bawah pohon “kersen” yang cukup rindang itu sambil beramah tamah dengan anggota rombongan lainnya. Selanjutnya perjalanan kami teruskan menuju Kota Denpasar. Di kota yang menjadi ibu kota Bali ini kita akan mengunjungi makam Ratu Ayu Pemecutan. Siapakah sebenarnya sosok yang satu ini sehingga makamnya patut kita ziarahi saat melancong ke Bali?

Ratu Ayu Pemecutan sebenarnya memiliki nama asli Gusti Ayu Made Rai. Beliau putri dari Raja Badung-Bali bernama I Gusti Ngurah Gedhe Pemecutan. Pada kurun waktu tertentu Gusti Ayu Made Rai menderita sakit parah. Kalau sekarang mungkin orang menyebutnya penyakit kuning (hepatitis). Semua tabib istana dikerahkan. Bahkan tabib di luar istanapun juga didatangkan. Namun penyakit sang putri tidak kunjung sembuh.

Suatu ketika Raja Badung menggelar sayembara. Barangsiapa yang sanggup menyembuhkan penyakit sang putri, kalau perempuan maka ia akan diangkat sebagai kerabat kerajaan. Jika lelaki ia akan dinikahkan dengan sang putri yang berparas cantik itu. Mendengar sayembara itu datanglah seorang pangeran tampan yang sakti mandraguna bernama Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura.

Segala ilmu kadigdayaan dikerahkan oleh sang pangeran. Akhirnya sang putri berhasil disembuhkan dari sakit parahnya. Raja Badung memenuhi janjinya untuk segera menikahkan Gusti Ayu Made Rai dengan Cakraningrat IV meski keduanya berbeda agama. Sang putri akhirnya memeluk Agama Islam dan berganti nama menjadi Siti Khotijah.

Suatu ketika Cakraningrat IV berkeinginan memboyong Gusti Ayu Made Rai untuk pulang ke Madura, sang raja akhirnya mengijinkan. Malahan beliau mengutus pengawal dan dayang-dayang istana untuk menemani keduanya kembali ke Madura. Di Madura Gusti Ayu Made Rai menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai muslimah yang statusnya sebagai istri Raja Madura. Kehidupannya tentram dan damai. Cukup lama beliau bermukim di Pulau Madura.

 Suatu hari Siti Khotijah merasa rindu akan kampung halamannya di Bali, sang suami mengijinkan beliau pulang ke tanah kelahirannya. Dalam riwayat dikisahkan kalau Cakraningrat IV juga mengutus puluhan pengawal untuk menemani Siti Khotijah pulang ke Bali. Raja Badung menerima kembali Gusti Ayu Made Rai dengan suka cita. Bagaimanapun juga sang putri adalah belahan jiwanya. Namun pihak istana rupanya belum mengetahui kalau Gusti Ayu Made Rai telah memeluk Islam. Sholat lima waktu juga beliau kerjakan di dalam istana yang mayoritas dihuni oleh kerabat raja beragama Hindu.

Patih dan punggawa kerajaan lainnya pernah pada saat tertentu menemukan Siti Khotijah mengenakan kerudung putih (mukenah) karena beliau hendak menunaikan kewajiban sholat. Mereka mengira kalau sang putri yang belakangan telah memeluk Islam itu melakukan ritual ilmu hitam (leak). Kala itu bila seseorang mengenakan jubah serba putih dianggap melakukan ritual leak yang bertujuan menyerang lawannya. Kejadian ini akhirnya dilaporkan kepada sang raja.  Hukumanpun akhirnya dijatuhkan kepada sang putri yang alim, santun dan taat beribadah itu.
 Sebelum pelaksanaan hukuman, sang putri berpesan agar patih dan punggawanya menghujamkan tusuk konde pemberian Cakraningrat IV ke dadanya. Bila nanti mengeluarkan asap berbau busuk maka jenazahnya hendaknya ditanam dalam tanah. Sementara bila yang keluar asap berbau harum maka beliau ingin agar jenazahnya ditempatkan dalam tempat suci yang dinamakan “keramat”. Ada pendapat lain yang mengatakan kalau sang putri tewas akibat tebasan pedang patih istana saat beliau menunaikan sholat. Hal ini karena terjadi kesalahpahaman antara pihak istana dengan Siti Khotijah yang telah memeluk Islam.

Ada kisah misteri dibalik tewasnya putri Raja Badung ini. Suatu ketika dari makam Raden Ayu tumbuh sebuah pohon yang tingginya kira-kira setengah meter tepat di tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon itu menyebabkan pusara sang putri terbelah. Ajaibnya, setiapkali dibersihkan (dicabut) pohon itu kembali tumbuh dan terus membesar. Melihat keganjilan itu akhirnya penjaga makam yang kala itu bernama Gede Sedahan Gelogor dan istrinya akhirnya membiarkan pohon itu tetap tumbuh.

Menurut pengakuan penjaga makam, saat ia dan istrinya sedang bersemedi di depan pusara, dalam tapa bratanya ia diperintahkan agar merawat pohon itu sebagai bukti bahwa Siti Khotijah atau Gusti Ayu Made Rai bukanlah orang sembarangan. Pohon tersebut konon tumbuh dari rambut Raden Ayu yang semasa hidupnya memiliki rambut hitam panjang. Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh tepat di atas makam dan orang menyebutnya “Taru rambut”.
Kini pohon Kepuh itu tumbuh besar dan tingginya sudah puluhan meter. Pohon itu sangat disakralkan oleh warga setempat. Versi lain menyebutkan terkait pohon kepuh besar yang tumbuh tepat di tengah makam Siti Khotijah sebenarnya merupakan tusuk konde yang dikenakan Siti Khotijah. Atas ijin yang diberikan Allah Sang Kuasa, maka tusuk konde itu berubah wujud menjadi pohon keramat. Keberadaan pohon itu membuktikan bahwa Siti Khotijah atau Raden Ayu Pemecutan memiliki keistimewaan melebihi manusia biasa.
 Hingga kini makam Raden Ayu Pemecutan banyak diziarahi umat Islam maupun Hindu. Keberadaan makam ini menjadi pemersatu dan simbol kerukunan kedua umat beragama. Sebelum memasuki kompleks makam traveler akan menyaksikan para pedagang menjajakan berbagai kaos atau pakaian bertuliskan “Bali”. Sementara di depan kompleks makam Raden Ayu Pemecutan ada sebuah lapangan yang sangat luas. Lapangan itu berfungsi untuk menyelenggarakan ritual pembakaran mayat (ngaben).

Masih terasa kental nuansa Hindu di makam Raden Ayu Pemecutan ini, karena memang umat Hindu juga menganggap keramat makam ini. Saat rombongan kami bertandang ke sana aroma hio terasa sekali. Di depan cungkup pusara terdapat beberapa arca berselimut kain sarung bermotif kotak-kotak berwarna hitam-putih dilengkapi dengan payung disampingnya.
Kyai Wachid memimpin rombongan dengan bacaan istigosah dan tahlil. Sementara anggota lainnya mengikuti bacaan doa sang kyai dengan kusyuk. (kompasiana.com)

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright 2013 Islam: TRAGEDI, GADIS PEJUANG ISLAM DI BALI Template by Badar Jailani. Powered by Blogger