Posted by Badar Jailani. Category:
Kisah Islami
Gadis Pejuang Bali
Setelah semalam
beristirahat di kawasan Tabanan, jam tiga pagi waktu Indonesia bagian tengah,
rombongan bertolak menuju Kota Denpasar. Kami menunaikan ibadah Sholat Subuh di
sebuah masjid di kawasan Bajera, Tabanan-Bali. Perjalanan kami teruskan menuju
kawasan Pesiapan-Tabanan. Kyai Wachid menyarankan agar anggota rombongan makan
pagi di kawasan Pesiapan saja sebab di sana ada warung yang menyediakan masakan
khas Jawa Timur dan dijamin kehalalannya. Pemilik warung makan itu berasal dari
Mojokerto, Jawa Timur.
Ada puluhan menu di
warung yang bernama “Warung Muslim Wong Jowo” ini. Harga perporsinya terbilang
murah. Untuk nasi pecel dihargai Rp.8000,- sepiringnya. Sedangkan teh hangat
manis dihargai Rp.2000,- segelasnya. Rasanya lumayan enak. Ya tak ubahnya nasi
pecel dari Madiun atau Cepu di Jawa Tengah. Bumbu pecalnya terasa manis dan
sedikit pedas.
Ada balai-balai bambu
di depan warung ini. Makan pagipun terasa nikmat bila kita lakukan sambil duduk
di bawah pohon. Halaman parkir di depan warung cukup untuk beberapa bus
pariwisata. Setelah sarapan pagi kami duduk-duduk santai di bawah pohon
“kersen” yang cukup rindang itu sambil beramah tamah dengan anggota rombongan
lainnya. Selanjutnya perjalanan kami teruskan menuju Kota Denpasar. Di kota
yang menjadi ibu kota Bali ini kita akan mengunjungi makam Ratu Ayu Pemecutan.
Siapakah sebenarnya sosok yang satu ini sehingga makamnya patut kita ziarahi
saat melancong ke Bali?
Ratu Ayu Pemecutan
sebenarnya memiliki nama asli Gusti Ayu Made Rai. Beliau putri dari Raja Badung-Bali
bernama I Gusti Ngurah Gedhe Pemecutan. Pada kurun waktu tertentu Gusti Ayu
Made Rai menderita sakit parah. Kalau sekarang mungkin orang menyebutnya
penyakit kuning (hepatitis). Semua tabib istana dikerahkan. Bahkan tabib di
luar istanapun juga didatangkan. Namun penyakit sang putri tidak kunjung
sembuh.
Suatu ketika Raja
Badung menggelar sayembara. Barangsiapa yang sanggup menyembuhkan penyakit sang
putri, kalau perempuan maka ia akan diangkat sebagai kerabat kerajaan. Jika
lelaki ia akan dinikahkan dengan sang putri yang berparas cantik itu. Mendengar
sayembara itu datanglah seorang pangeran tampan yang sakti mandraguna bernama
Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura.
Segala ilmu kadigdayaan
dikerahkan oleh sang pangeran. Akhirnya sang putri berhasil disembuhkan dari
sakit parahnya. Raja Badung memenuhi janjinya untuk segera menikahkan Gusti Ayu
Made Rai dengan Cakraningrat IV meski keduanya berbeda agama. Sang putri
akhirnya memeluk Agama Islam dan berganti nama menjadi Siti Khotijah.
Suatu ketika Cakraningrat
IV berkeinginan memboyong Gusti Ayu Made Rai untuk pulang ke Madura, sang raja
akhirnya mengijinkan. Malahan beliau mengutus pengawal dan dayang-dayang istana
untuk menemani keduanya kembali ke Madura. Di Madura Gusti Ayu Made Rai
menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai muslimah yang statusnya sebagai
istri Raja Madura. Kehidupannya tentram dan damai. Cukup lama beliau bermukim
di Pulau Madura.
Suatu hari Siti Khotijah merasa rindu akan
kampung halamannya di Bali, sang suami mengijinkan beliau pulang ke tanah
kelahirannya. Dalam riwayat dikisahkan kalau Cakraningrat IV juga mengutus
puluhan pengawal untuk menemani Siti Khotijah pulang ke Bali. Raja Badung
menerima kembali Gusti Ayu Made Rai dengan suka cita. Bagaimanapun juga sang
putri adalah belahan jiwanya. Namun pihak istana rupanya belum mengetahui kalau
Gusti Ayu Made Rai telah memeluk Islam. Sholat lima waktu juga beliau kerjakan
di dalam istana yang mayoritas dihuni oleh kerabat raja beragama Hindu.
Patih dan punggawa
kerajaan lainnya pernah pada saat tertentu menemukan Siti Khotijah mengenakan
kerudung putih (mukenah) karena beliau hendak menunaikan kewajiban sholat.
Mereka mengira kalau sang putri yang belakangan telah memeluk Islam itu
melakukan ritual ilmu hitam (leak). Kala itu bila seseorang mengenakan jubah
serba putih dianggap melakukan ritual leak yang bertujuan menyerang lawannya.
Kejadian ini akhirnya dilaporkan kepada sang raja. Hukumanpun akhirnya dijatuhkan kepada sang
putri yang alim, santun dan taat beribadah itu.
Sebelum pelaksanaan hukuman, sang putri
berpesan agar patih dan punggawanya menghujamkan tusuk konde pemberian
Cakraningrat IV ke dadanya. Bila nanti mengeluarkan asap berbau busuk maka
jenazahnya hendaknya ditanam dalam tanah. Sementara bila yang keluar asap berbau
harum maka beliau ingin agar jenazahnya ditempatkan dalam tempat suci yang
dinamakan “keramat”. Ada pendapat lain yang mengatakan kalau sang putri tewas
akibat tebasan pedang patih istana saat beliau menunaikan sholat. Hal ini
karena terjadi kesalahpahaman antara pihak istana dengan Siti Khotijah yang
telah memeluk Islam.
Ada kisah misteri
dibalik tewasnya putri Raja Badung ini. Suatu ketika dari makam Raden Ayu
tumbuh sebuah pohon yang tingginya kira-kira setengah meter tepat di
tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon itu menyebabkan pusara sang putri
terbelah. Ajaibnya, setiapkali dibersihkan (dicabut) pohon itu kembali tumbuh
dan terus membesar. Melihat keganjilan itu akhirnya penjaga makam yang kala itu
bernama Gede Sedahan Gelogor dan istrinya akhirnya membiarkan pohon itu tetap
tumbuh.
Menurut pengakuan
penjaga makam, saat ia dan istrinya sedang bersemedi di depan pusara, dalam
tapa bratanya ia diperintahkan agar merawat pohon itu sebagai bukti bahwa Siti
Khotijah atau Gusti Ayu Made Rai bukanlah orang sembarangan. Pohon tersebut
konon tumbuh dari rambut Raden Ayu yang semasa hidupnya memiliki rambut hitam
panjang. Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh tepat di atas makam dan orang
menyebutnya “Taru rambut”.
Kini pohon Kepuh itu
tumbuh besar dan tingginya sudah puluhan meter. Pohon itu sangat disakralkan
oleh warga setempat. Versi lain menyebutkan terkait pohon kepuh besar yang
tumbuh tepat di tengah makam Siti Khotijah sebenarnya merupakan tusuk konde
yang dikenakan Siti Khotijah. Atas ijin yang diberikan Allah Sang Kuasa, maka
tusuk konde itu berubah wujud menjadi pohon keramat. Keberadaan pohon itu
membuktikan bahwa Siti Khotijah atau Raden Ayu Pemecutan memiliki keistimewaan
melebihi manusia biasa.
Hingga kini makam Raden Ayu Pemecutan banyak
diziarahi umat Islam maupun Hindu. Keberadaan makam ini menjadi pemersatu dan
simbol kerukunan kedua umat beragama. Sebelum memasuki kompleks makam traveler
akan menyaksikan para pedagang menjajakan berbagai kaos atau pakaian
bertuliskan “Bali”. Sementara di depan kompleks makam Raden Ayu Pemecutan ada
sebuah lapangan yang sangat luas. Lapangan itu berfungsi untuk menyelenggarakan
ritual pembakaran mayat (ngaben).
Masih terasa kental
nuansa Hindu di makam Raden Ayu Pemecutan ini, karena memang umat Hindu juga menganggap
keramat makam ini. Saat rombongan kami bertandang ke sana aroma hio terasa
sekali. Di depan cungkup pusara terdapat beberapa arca berselimut kain sarung
bermotif kotak-kotak berwarna hitam-putih dilengkapi dengan payung
disampingnya.
Kyai Wachid memimpin
rombongan dengan bacaan istigosah dan tahlil. Sementara anggota lainnya
mengikuti bacaan doa sang kyai dengan kusyuk. (kompasiana.com)
0 komentar:
Posting Komentar